Selasa, 15 Maret 2011

DIBALIK OTONOMI KHUSUS UNTUK WEST PAPUA


UU Otonomi khusus, paling tidak, telah memberi harapan bagi masyarakat Papua untuk menata kehidupan social, Eknomi, budaya dan politik Papua menjadi lebih baik, sekaligus merenda harkat dan martabat yang terabaikan. Upaya pemenuhan rasa keadilan, pencapaian kesejahteraan, penegakan hokum dan penghormatan terhadap hak asasi merupakan esensi tujuan dari otonomi Khusus. Meski demikian, hingga saat ini, ironi justru mengemuka. Propinsi yang kaya dengan sumber daya Alam, didukung dana otonomi khusus, masih mencatat tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia serta kesulitan memperoleh akses sumber daya, Pendidikan dan kesehatan. Data badan pusat statistic pada tahun 2009 menyebutkan data indeks pembangunan Manusia papua yang mencatat kenaikan angka kemiskinan dari tahun 2008 sebesar 37,53 persen.

Implementasi pelaksanaan otonomi khusus  masih memenuhi serangkaian persoalan signifikan, terkait dengan konsistensi pelaksanaan,pemaknaan esensi hingga kebijakan-kebijakan reduktif yang member kesan peran monopolisitik pemerintah terhadap implementasi undang-undang tersebut. Yang kalah pentingnya pula tarik-menarik  kepentingan politik yang menyelubungi kebijakan Otonomi khusus begitu dominan, melebihi komprehensivitas persoalan papua itu sendiri. Bisa diprediksi, sikap reduktif tersebut cendrung menyederhanakan persoalan, mengidentifikasi persoalan Papua sebagai ancaman dengan mempolarisasi identitas-identitas didalamnya dalam stigma-stigma tertentu ( seperti Gerakan Organisasi Papua Merdeka ).

Otonomi Khusus merupakan Wajah Ramah bangsa Indonesia dalam merespons persoalan papua yang tidak semata memosisikannya sebagai “ wilayah yang bermasalah”  menjadi sebuah wilayah ‘” propinsi di Indonesia” yang memiliki kekhususan social-budaya, politik dan ekonomi. Dengan demikian, terdapat pengakuan yang jujur dari bangsa Indonesia tentang eksistensi Papua yang berbeda dengan propinsi lainya. Pengakuan tentang harkat, martabat dan jati diri yang patut dihargai dan dipandang sama dalam upaya meng-indonesia –kan rakyat Papua, membuat orang papua merasa sebagai bagian dari Negara kesatuan Repoblik Indonesia. Dan pengakuan bahwa sudah saatnya paradigma dalam merespon persoalan Papua digantikan dengan paradigma baru yang lebih arif, bijaksana, manusiawi, dan konfrensif.

Muasal Otonomi Khusus selalu berkisar pada dua sisi, antara akumulasi kekecewaan masyarakat yang belarti bahwa kebijakan Otonomi khusus merupakan win-win solution yang dipandang mampu memenuhi rasa keadilan. Disisi lain, sebagai hak yang inheren  bagi masyarakat papua dengan sekian banyak keistimewaan yang dimilikinya. Tegangan antara dua sisi tersebut  memunculkan berbagai persoalan yang berakibat pada tidak terimplementasikannya proses dan tujuan dengan ideal. Karena itu, bisa dipahami jika penolakan pada Otonomi khusus pada dasarnya lebih pada implementasi ketimbang nilai-nilai ideal yang dikandungnya.

Implementasi yang tidak konsisten berimplikasi pada Upaya bangsa Indonesia untuk membagun kehidupan masyarakat west papua kearah yang lebih baik. Inkonsistensi sikap dalam mengakomodasi berbagai persoalan semakin merenggangkan kesatuan Visi nasionalisme Keindonesiaan antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat West Papua. Penolakan terhadap kebijakan Otonomi khusus yang sejak awal disuarakan oleh PDP Almahum Theys Hiyo Eluay, menunjukan bahwa sejak awal implementasi Otonomi khusus sudah mengundang persoalan.

Asumsi bahwa Otonomi khusus adalah semata sebagai “pemberian” adalah “pengingkaran”  terhadap sejarah dan identitas masyarakat West papua. Kebijakan Otonomi Khusus tetap saja merupakan reaksi atas kegagalan mengontruksi nilai-nilai keindonesiaan didalam Jati Diri Rakyat Papua. Kegagalan itu hendak diperbaiki dengan Otonomi Khusus. Namun, bukan belarti berbagai persoalan masa lalu terlepas dari ingatan kolektif masyarakat West Papua.
Dualisme pemikiran antara Kaum nasionalis Papua dan nasionalis Indonesia berada dalam tegangan ini dengan kebijakan Otonomi khusus yang sesekali menjadi bumbu  mengurai persoalan. Penelitian lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang termaktub dalam Papua Rod map menyebutkan 4 (empat ) isu trategis yang menjadi persolan Utama dan sumber komplik, yaitu: 1) Sejarah Integrasi Papua Ke Wilayah NKRI; 2). Kekerasan Politik dan Pelanggaran HAM ; 3). Gagalnya Pembangunan di west Papua; 4). Inkonsistensi Penerapan Otonomi Khusus serta marjinalisasi orang Papua.

Secara historis, penafsiran terhadap intergrasi, status politik, dan identitas politik papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dan rezim Otoritarianisme Orde baru. Sementara Inkonsistensi pemerintah Indonesia dalam Implementasi Otonomi Khusus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca Orde baru.

Inkonsistensi implementasi Otonomi khusus akan terus berjalan selama penelusuran dan pelurusan sejarah identitas ke-Papua-an tidak memperoleh porsi perhatian yang benar. Kontruksi nasionalisme Papua harus dipahami sebagai anti-tesa dari kontruk nasionalis Indonesia. Wacana tentang proses intergrasi yang terurai antara “ kehendak Sendiri “ masyarakat papua melaui PEPERA dengan proses “aneksasi”  terus menjadi wacana kelabu dalam sejarah  Bangsa Indonesia. Kekelabuan menghasilkan kecurigaan dan perbedaan (otherness)  antara satu masa yang lainya. Sehingga kedua belah pihak, baik dari pihak masyarakat maupun dari pemerintah selalu berada dalam ketegangan persepsi yang tak berkesudahan,. Bisa dipastikan dalam kondisi ini, buah-buah pertikaian dan konflik akan terus menyertai setiap kebijakan social, politik dan ekonomi.

Relasi antara masyarakat Papua dengan Pemerintah Indonesia adalah relasi dominasi, bukan kerja sama dengan kedudukan masing-masing pihak sebagai patner kebijakan. Kehadiran pemerintah Indonesia Pada tahun 1962 menandai babak awal relasi dominasi yang ditandai dengan kekerasan Politik. Periode 1962 sampai dengan periode 1984 dapat dikatakan sebagai perang rahsia Antara TNI ( Tentara Nasional Indonesia ) dengan OPM ( organisasi Papua Merdeka ).

Kekerasan politik adalah pengalaman objektif sebagai akibat dari trategi utama dari pemerintah Indonesia untuk memerang OPM. Reprentasi menonjol Negara dan pemerintah Indonesia di Papua adalah Aparat-aparat militer dan Kepolisian. Negara sebagai Intitusi hadir di Papua dalam bentuk-bentuk kekuatan militer. Sementara Negara dalam perspetif yang lebih ideal sebagai seni memerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, tidak hadir di West Papua. Negara Indonesia Justru hadir sebagai institusi-institusi yang memusatkan perhatiannya  pada seni kedudukannya dengan cara-cara konvensional melalui penggunaan instrument kekuasaan. Pada tingkatan tertentu relasi dominasi ini bahkan bisa dijejerkan sebagai dominasi antara penjajah dengan kaum penjajah.

Pertarungan wacana menjadi amunisi tersendiri untuk menguasi pergolakan persepsi masyarakat Papua. Sebagai wacana,seperti tanah papua adalah bagian dari NKRI, Status papua telah Pinal melalui PEPERa dan Resolusi PBB, integrasi Papua kedalam pembebasan kolonialisme dan Imperialisme belanda, pendekatan keamanan (security approach ) untuk menjaga keutuhan NKRI. Pembangunan untuk modernisasi orang Papua, dan pelaksanaan Otonomi Khusus dalam konteks integrasi nasional, adalah serangkaian Opini yang hembuskan dan menujukan bagaimana kekuasaan dioperalisasikan melalui wacana politik yang dijalankkan oleh ideological state apparatus, baik pada masa orde lama, orde baru hingga orde saat ini. Wacana dan pengetahuan tentang status politik Papua dikontruksi oleh para nasionalis Indonesia menunjukan bagaimana dominasi kekuasaan yang asimetris antara pemerintah dengan rakyat papua dilegitimasi oleh pengetahuan dan ideology politik Negara.
Perlawananpun senatiasa dihembuskan oleh masyarakat west papua melalu berbagai opini yang menyatakan orang papua bukan dari bagian dari Indonesia, PEPERA tidak sah karena tidak mempresentasikan Aspirasi Penuh rakyat Papua, Integrasi Papua kedalam  NKRI adalah Bentuk kolonialisasi, kekerasan adalah pelanggaran HAM, Pembangunan identik dengan migrasi tenaga kerja dari luar papua dan Marjinalisasi orang Pribumi West Papua. Jalan Keluar Untuk Papua adalah Lepas dari NKRI..





 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar