Kamis, 31 Maret 2011

PERNYATAAN SIKAP "DARAH TERUS MENGALIR DI TANAH PAPUA SELAMA 51 TAHUN BERINTEGRASI DENGAN INDONESIA"


Salam Demokrasi, Salam Pebebasan!!

Semenjak aneksasi Papua kedalam NKRI lewat Pepera 1969, ketidakadilan dan kekerasan terus saja tercatat dalam lembaran sejarah kelam Bangsa Papua. Untuk membungkam suara rakyat Papua, operasi-OPERASI militer baik organic maupun non-organik terus saja diadakan semenjak 1962 hingga sekarang. Jutaan nyawa rakyat Papua telah menjadi tumbal kebiadaban yang membasahi tanah Papua Barat dengan darah. Angin reformasi yang berhembus dengan ditumbangkannya rezim represif ORBA 1998, memberi ruang untuk demokratisasi namun hanya berlangsung sangat singkat saja.


Suara protes rakyat Papua tidak akan pernah diacuhkan, namun yang akan terjadi adalah penjarahan kekayaan alam dan pemusnahan bangsa Papua secara pelan tapi pasti terus berlangsung dengan memberikan stigma separatis bagi siapapun yang melawan ketidakadilan ini. Melawan berarti berhadapan dengan moncong senjata.

Ditengah hangatnya isu HAM yang sedang diusung berbagai elemen gerakkan pro demokrasi seantero nusantara, Papua kembali dihangatkan dengan penembakkan terhadap rakyat sipil di Distrik Wagethe Kecamatan Tigi Kabupaten Paniai pada 20 Januari 2006 lalu. Berita ini tentu saja mengagetkan para pekerja kemanusiaan yang sedang menguras tenaga dan pikirannya untuk berbagai kasus pelanggaran HAM yang belum tampak titik terangnya ini.

Berawal dari proyek pembuatan jalan di Wagethe oleh pemerintah daerah setempat yang ditangani oleh Danramil. Karena pekerjaan mereka yang sebagian besar hampir selesai, PETRUS PEKEY salah satu pekerja proyek di desa Gakokebo mendatangi Danramil sebagai pihak yang menangani proyek untuk meminta pembayaran. Permintaan ini ditolak oleh pihak Danramil. Kedua kalinya Petrus datang lagi bersama seorang temannya menghadap kepala Distrik Wagethe. Kepala Distrik menyarankan untuk ke Danramil dulu baru kembali sesuai dengan nomor urut yang terdapat dalam surat tagihan atau tuntutan para pekerja yang dibawa oleh Petrus dan temannya.

Sesampai di Danramil, pihak Danramil membaca lalu mengembalikan surat itu kepada Petrus dan mengatakan bahwa petrus dan kawan-kawan harus menyelesaikan pekerjaan sisa. Ketika Petrus dan kawannya hendak pergi, surat tuntutan itu direbut oleh salah satu anggota Timsus yang ada di dalam kantor itu lalu menyobek surat tersebut di depan keduanya.

Keduanya lalu pergi meninggalkan kantor Danramil menuju terminal lalu menceritakan perlakuan aparat itu pada mereka.

Massa yang tidak terima dengan perlakuan ini bermaksud mendatangi Danramil untuk meminta penjelasan. Belum lagi sampai di tempat tujuan, bunyi suara tembakkan menyusul tembakkan ke arah massa yang berkumpul. Massa kemudian berlari mencari tempat perlindungan.

Empat orang Korban dalam penembakkan ini adalah :


  1. MOZES DOUW (14 tahun, siswa SMP Negeri Wagethe), meninggal dunia.
  2. YUNIKE KOTOUKI (18 tahun, pelajar), luka tembak di paha kanan
  3. PETRUS PEKEY (43 tahun, pekerja proyek), luka tembakkan pada rusuk kanan
  4. MELIANUS DOUW, luka memar

Merunut kembali pada kronologi penembakkan ini, jelas bahwa tuntutan pembayaran kerja hanyalah alasan yang digunakan oleh aparat TNI untuk melakukan kekerasan terhadap rakyat sipil di Papua. Pendekatan militeristik seperti ini sudah berlangsung sejak Papua berintegrasi dengan NKRI tahun 1969 dimana saat itu juga status DOM diberlakukan di Papua.

Pelaku penembakkan diduga kuat adalah Letda Inf. Situmeang dari TNI adalah Komandan Pleton (Danton) Timsus Yonif 753 Arga Viratama diduga kuat pelaku penembakkan terhadap YUNIKE KOTOUKI dan PETRUS PEKEY serta Bripda Ronald Isac Tumena dari Polri, dia adalah anggota Polsek Wagethe yang diduga kuat melakukkan penembakkan terhadap MOZES DOUW yang akhirnya meninggal itu.

Kejahatan terhadap kemanusiaan seperti ini akan terus menerus terjadi di Tanah Papua selama tidak ada kekuatan hukum di Indonesia yang mampu memutus rantai kebal salah dan kebal hukum (impunity) yang dimiliki TNI selama Indonesia merdeka. Ini terbukti dengan tidak ada satupun Kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang mampu menyeret para petinggi TNI Polri ke balik jeruji besi.

Melihat berbagai perkembangan sosial masyarakat di Wagethe dan sikap pemerintah dan Kapolda Papua terhadap kasus ini sekaligus pemenuhan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga korban maka kami Gerakan Anti Penjajahan Yogyakarta menyatakan sikap :

  1. NEGARA BERTANGGUNG JAWAB ATAS KASUS PENEMBAKKAN WARGA SIPIL DI WAGETHE PAPUA 20 JANUARI 2006
  2. PEMECATAN/PENCOPOTAN JABATAN TERHADAP Letda Inf. Situmeang DAN Bripda Ronald Isac Tumena BUKAN SOLUSI TAPI KEDUA TERSANGKA HARUS DIPROSES MELALUI PERADILAN HAM
  3. NEGARA HARUS MENARIK SELURUH PASUKKAN NON-ORGANIC DAN MENGURANGI PASUKKAN ORGANIC DARI TANAH PAPUA YANG SELAMA INI KEHADIRANNYA LEBIH MERESAHKAN MASYARAKAT DARI PADA MEMBUAT MASYARAKAT MERASA AMAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar