Minggu, 27 Maret 2011

DIALOG INTERNAL PAPUA


By Agus Sumule
Jan 3, 2006, 07:41

Jakarta, Ada beberapa perkembangan menarik dalam satu setengah bulan terakhir ini terkait dengan penyelesaian masalah Papua.

Pertama, kunjungan Menkopolhukam, Mendagri, dan Kepala BIN ke Jayapura dan Manokwari sesudah keputusan DPRP bahwa DPRP akan mengembalikan UU Otsus Papua dan menyelenggarakan referendum apabila Mendagri memaksakan untuk menyelenggarakan Pilkada IJB pada 28 November 2005.

Kedua, langkah sigap Wapres Jusuf Kalla yang mengundang Gubernur Papua, Ketua DPRP, Pangdam Trikora, dan Kapolda Papua, serta Pejabat Gubernur IJB dan Ketua DPRD IJB untuk membicarakan penyelesaian masalah Papua di Jakarta ketika Presiden RI sementara berkunjung ke luar negeri. Hasil pertemuan yang dilakukan terpisah itu (Wapres dengan Muspida Papua, dan Wapres dengan Pejabat dan Ketua DPRD IJB) pada intinya adalah penyelesaian masalah IJB, termasuk dasar hukum baru bagi provinsi ini, dijadualkan selesai pada akhir Desember 2005, dalam bentuk Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang).

Ketiga, sekembali dari lawatan ke luar negeri, dan sesudah memperoleh laporan dari Wapres di Ruang VVIP Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Presiden menyatakan, "... persoalan Papua diselesaikan cara Aceh" (Tempointeraktif.com, 25 November 2005).

Tampaknya ada tiga alasan yang membuat Presiden harus membuat pernyataan itu. Pertama, Presiden menyadari persoalan Papua bukanlah sekadar persoalan pemekaran provinsi. Sejak masih menjabat sebagai Menkopolkam di era Presiden Gus Dur, Presiden Yudhoyono sudah beberapa kali berdialog dengan berbagai elemen masyarakat Papua. Karena itu, ia pasti memahami dengan baik hal-hal apa saja yang lebih substansial dan merupakan persoalan lebih mendasar yang harus dicarikan pemecahannya.

Kedua, reputasi internasional Presiden Yudhoyono dipertaruhkan apabila ia hanya bersedia berdialog dengan GAM dan mengabaikan tuntutan yang sama dari rakyat Papua. Tuntutan rakyat Papua itu, sudah disampaikan jauh hari sebelum GAM bersedia "ditekan" dunia internasional untuk duduk satu meja dengan pemerintah dan mencari jalan keluar damai.

Ketiga, inilah saat yang paling tepat bagi Presiden untuk mewujudkan janji kampanyenya setahun lalu, yaitu mencari jalan keluar damai, menyeluruh dan bermartabat bagi berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, termasuk di Papua.

Kekacauan Hukum


Ada satu pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dahulu: apa sebetulnya yang salah dari kesepakatan yang dibuat antara elite Papua/IJB dan Wapres beberapa waktu lalu? Atau setidak-tidaknya, bahaya apa yang menanti rakyat Papua akibat kesepakatan itu?

Pertama, seperti sudah diuraikan, persoalan Papua bukanlah semata-mata persoalan antara Provinsi Papua dan Provinsi IJB. Bahkan, kita tidak boleh lupa, persoalan itu tidak pernah dibuat orang Papua, tetapi justru diciptakan penguasa republik melalui dikeluarkannya Inpres No 1/2003.

Menjadikan soal Papua versus IJB seolah-olah sebagai satu-satunya masalah paling urgen di Papua, jelas adalah pengkerdilan dan penyepelean masalah yang hasilnya tidak akan pernah menolong siapa pun. Ada banyak masalah lain yang jauh lebih penting seperti pelanggaran HAM, perbedaan pendapat soal sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, perlindungan hak-hak orang asli Papua atas sumber daya alam, kelaparan di Yahukimo dan ancaman yang lebih besar lagi di seluruh pegunungan tengah, dan masih banyak yang lain.

Kedua, dikeluarkannya Perppu sebagai dasar hukum bagi provinsi baru di Papua yang dibentuk tidak dengan dasar UU No 21/2001 akan menciptakan kekacauan hukum luar biasa! Apa yang akan terjadi kalau Provinsi A di Papua mengeluarkan Perda yang berbeda dari Provinsi B, C, D dan seterusnya, padahal yang diatur itu objeknya sama, bahkan subjeknya sama pula?

Ketiga, pimpinan DPRP, DPRD IJB, dan MRP yang hadir di Jakarta, dan kemudian menghasilkan kesepakatan dengan Wapres itu, sebenarnya tidak berada pada posisi membuat keputusan atas nama institusi masing-masing. Kepemimpinan badan-badan perwakilan rakyat ini bukanlah seperti kepemimpinan di birokrasi di mana kepala bisa mengambil keputusan atas nama institusinya. Seharusnya DPRP, DPRD IJB, dan MRP kembali dan menanyakan kepada para anggotanya, bahkan bila perlu konstituennya, apakah mereka setuju atau tidak dengan kesepakatan itu.

Keempat, seharusnya pernyataan Ketua MRP yang dikutip di media massa nasional beberapa waktu lalu dicerna sedalam-dalamnya: Sebenarnya, untuk siapa pemekaran provinsi di Papua? Semua pihak perlu bercermin dari fakta empiris, sejak dikeluarkannya Inpres No 1/2003 telah terjadi banjir migrasi masuk ke berbagai tempat di wilayah yang sekarang disebut sebagai Provinsi IJB itu. Catatan lembaga-lembaga pemantau pemilu menunjukkan orang asli Papua sekarang sudah menjadi minoritas di IJB. Haruskah kesalahan yang sama ini dilanjutkan?

Kelima, memberikan kesempatan, bahkan ikut serta menyetujui pembentukan Perppu pemekaran Provinsi di Papua, sebelum masalah-masalah lain dibicarakan sama dengan menutup sama sekali peluang melakukan dialog antara seluruh rakyat Papua, baik secara internal, maupun dengan Jakarta. Sekali Perppu keluar, tidak ada lagi lembaga yang bisa memfasilitasi dialog itu. Keadaan akan menjadi sangat kacau akibat masing-masing provinsi merasa memiliki hak yang sama dan persoalan-persoalan mendasar di tingkat rakyat terus diabaikan.

Elemen Rakyat


Respons terhadap pernyataan Presiden Yudhoyono tentang pentingnya menyelenggarakan dialog Papua - Jakarta perlu dimulai dengan terlebih dahulu menyelenggarakan dialog internal Papua. Dialog internal ini penting agar disepakati empat hal berikut ini oleh sebanyak mungkin elemen rakyat Papua.

Pertama, soal agenda apa yang harus didialogkan dengan pemerintah pusat. Sudah barang tentu, agenda itu bukan hanya sekadar pemekaran provinsi seperti yang cenderung diwacanakan selama ini. Soal-soal penyelesaian pelanggaran HAM, perbedaan pemahaman tentang sejarah Papua di dalam NKRI, pelanggaran hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam, adalah beberapa contoh agenda yang tidak boleh dikesampingkan.

Kedua, soal siapa yang mewakili rakyat Papua untuk duduk berbicara dalam dialog dengan pemerintah pusat itu. Di Papua memang ada kelembagaan formal-pemerintahan seperti gubernur, DPRP dan MRP. Ada juga lembaga-lembaga formal-kemasyarakatan, seperti lembaga-lembaga agama (gereja, MUI Papua), Dewan Adat Papua, Presidium Dewan Papua, Otoritas, Demmak, Front Pepera, dan lain-lain. Tetapi, kalau model penyelesaian Aceh yang digunakan, seperti kata Presiden, unsur-unsur TPN-OPM harus pula diundang.

Ketiga, siapa yang memfasilitasi dialog antara pemerintah pusat dan rakyat Papua itu. Kasus Aceh menunjukkan hanya karena ada keterlibatan mantan Presiden Finlandia Maarti Ahtisaari barulah kedua belah pihak bisa saling percaya satu sama lain, yang kemudian dituangkan ke dalam suatu kesepakatan politik resmi yang diketahui dan dipantau masyarakat dunia. Karena kepercayaan yang dimiliki pemerintah kepada Ahtisaari, sebaiknya rakyat Papua dan Jakarta juga memintanya memfasilitasi dialog Papua - Jakarta ini. Bisa saja Ahtisaari kemudian meminta bantuan pihak netral lain yang lebih mengetahui kebudayaan Melanesia, dan sukses menyelesaikan masalah separatisme di PNG, misalnya, seperti Perdana Menteri Hellen Clark dari Selandia Baru.

Keempat, pokok soal apa yang digunakan sebagai titik awal dialog. Belajar dari kasus Aceh kita bisa menyimpulkan, baik pemerintah pusat maupun GAM sama-sama bersepakat untuk mengakhiri berbagai konflik yang telah membawa begitu banyak korban jiwa dan harga di masing-masing pihak. Bencana tsunami memang merupakan salah satu konteksnya, tetapi jauh sebelum itu pasti sudah ada keinginan berdamai.

Pemerintah pusat mengajukan Otsus sebagai kerangka politik, tetapi juga bersedia memberikan ruang bagi GAM untuk mengisinya dengan ide-ide baru yang semakin memantapkan terwujudnya perdamaian itu. Dalam banyak hal kita bisa menduga kerangka yang sama juga akan digunakan sebagai titik awal dialog Papua - Jakarta. Proses yang berkembang selanjutnya diarahkan untuk menghasilkan butir-butir baru yang digunakan memperkaya apa yang sudah dimiliki dan disepakati bersama itu.

Siapa yang berada posisi yang paling tepat menyelenggarakan dan menfasilitasi Dialog Internal Papua ini? Jawabannya: MRP, Majelis Rakyat Papua.

Sebagai lembaga representasi kultural yang terdiri atas tokoh yang mewakili berbagai kelompok masyarakat adat, masyarakat perempuan, dan masyarakat agama dari seluruh Tanah Papua, MRP memiliki semua kewenangan dan legitimasi menyelenggarakan Dialog Papua sebagaimana yang dimaksud.

MRP tidak boleh membiarkan masyarakat Papua terus terpecah-pecah. MRP harus memainkan peranan sentral memfasilitasi dialog antarberbagai komponen masyarakat Papua dalam rangka merekatkan kembali hubungan antarsesama masyarakat Papua.

Lebih dari itu, MRP pasti mampu memfasilitasi perumusan gagasan-gagasan yang rasional sebagai hasil dari dialog itu, dengan memanfaatkan peluang-peluang hukum dan politik yang ada.

Waktu memang sementara berpihak pada Papua, tetapi tidak akan lama. Karena itu, seharusnyalah MRP segera mengambil sikap. *


(Oleh Agus Sumule, Penulis adalah Lektor Ilmu Pengembangan Masyarakat di Universitas Negeri Papua, Manokwari. Ia dapat dihubungi melalui e-mail: agussumule@yahoo.com.)

© Copyright 2003-2005 by watchPAPUA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar